DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………..
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………............
BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………...............
A. Pengertian Mu’tazilah ………………………………………………………….
B. Latar Belakang Munculnya Aliran Mu’tazilah ………………………………...
C. Gerakan Kaum Mu’tazilah ……………………………………………………..
D. Prinsip-prinsip Mu’tazilah ……………………………………………………..
E. Tokoh-tokoh Mu’tazilah ……………………………………………………….
F. Kedudukan Akal Bagi Mu’tazilah ……………………………………………..
G. New Mu,tazilah ………………………………………………………………...
H. Pandangan-pandangan Mu’tazilah dengan Kehadiran Jaringan Islam Liberal (JIL) …………………………………………………………………………….
BAB III PENUTUP …………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN
Kelompok kami menjelaskan tentang Mu’tazilah alangkah baiknya kita mengetahui sejarah timbulnya persoalan-persoalan tentang teologi dalam Islam.
Kalau dikatakan kiranya bahwa dalam Islam itu sebagai agama, persoalan yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi. Akan tetapi, persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi. Mengapa hal itu terjadi? Karena hal ini akan menjadi jelas, perlulah kita terlebih dahulu kembali sejenak kedalam Islam, tegasnya kedalam fase perkembangannya yang pertama.
Ketika Nabi Muhammad SAW menyiarkan ajaran-ajaran Islam yang beliau terima dari Allah SWT di Mekkah, kota ini mempunyai system kemasyarakatan yang terletak dibawah pimpinan suku bangsa Quraisy.
Kita tahu di Mekkah terkenal dengan pusat perdagangan dan di Yastrib itu terkenal dengan kota petani. Selama di Mekkah Nabi Muhammad SAW hanya mempunyai fungsi kepala agama dan tidak mempunyai fungsi kepala pemerintah, karena kekuasaan politik yang ada disana beelum dapat dijatuhkan pada waktu itu. Begitu juga sebaliknya di Madinah Nabi Muhammad SAW disamping menjadi kepala agama Nabi juga menjadi kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota itu. Sebelum itu di Madinah tidak ada kekuasaan politik.
Ketika beliau wafat pada tahun 632 M daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatas pada kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi seluruh semenanjung Arabia. Negara Islam pada waktu itu, seperti digambarkan oleh W. M. Watt (1961: 222-223), telah merupakan kumpulan suku-suku bangsa Arab, yang mengikat tali persekutuan dengan Nabi Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat Madinah dan mungkin juga Masyarakat Mekkah sebagai intinya (Muhammad Prophet and Statesman, 1961: 222-223).
Kata R. Strothmann, Islam sendiri merupakan system agama yang telah memasuki ranah system politik. Dan Nabi Muhammad SAW disamping sebagai Rasul ia juga menjadi seorang ahli Negara (Leiden E.J. Brill, 1961: 534).
Jadi, tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai Negara yang baru lahir itu, sehingga pemakaman Nabi merupakan soal ke-2 bagi mereka. Timbullah soal khilafah, soal pengganti Nabi Muhammad SAW sebagai kepala Negara. Sebagai Nabi atau Rasul, Nabi tentu tidak dapat digantikan.
Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar yang disetujui oleh masyarakat Islam di waktu itu menjadi pengganti atau khalifah. Nabi dalam mengepalai Negara mereka. Kemudian Abu Bakar di gantikan oleh Umar ibn Khattab dan Umar ibn khattab oleh usman ibn Affan.
Usman termasuk dalam golongan pedagang quraisy yang kaya pengalaman dagang mereka mempunyai pengetahuan tentang administrasi. Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang yang lemah dan tidak sanggup menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka yang menjadi Gubernur-Gubernur di daerah yang tunduk kepada kekuasaan Islam. Gubernur yang diangkat oleh Umar ibn Khattab, khalifah yang terkenal sebagai orang kuat dan tidak memikirkan kepentingan keluarganya itu dijatuhkan kepada Usman ibn ‘Affan.
Tindakan-tindakan politik yang dijalankan oleh Usman ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya mendukung Usman, ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu maka mereka semua mulai meninggalkan khalifah yang ke-3 ini. Orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah itu mulai menangguk di air keruh yang timbul pada waktu itu. Perasaan tidak senang muncul di daerah-daerah dari Mesir, sebagai reaksi terhadap dijatuhkannya Umar ibn al-‘Ash yang digantikan oleh Abdullah ibn Sa’d ibn Abi-Sahr, salah satu anggota kaum keluarga Usman sebagai Gubernur Mesir, lima ratus pemberontak berkumpul dan kemudian bergerak ke Madinah. Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontakan dari Mesir ini. Setelah Usman wafat Ali sebagai calon terkuat, menjadi khalifah yang ke-4. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah. Tantangan dari Aisyah-Talhah-Zubeir ini dipatahkan Ali dalam pertempuran yang terjadi di Irak pada tahun 656 M. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan Aisyah di kirim kembali ke Mekkah.
Dan tantangan yang ke-2 itu berasal dari Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga yang dekat dengan Usman. Sebagaimana halnya Talhah dan Zubeir, ia tidak mau mengakui Ali sebagai khalifah. Ia menuntut kepada Ali supaya menghukum pembunuhan-pembunuhan Usman, bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu. Salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh Usman adalah Muhammad ibn Abi Bakr, anak angkat dari Ali ibn Abi Thalib. Dan Ali juga tidak mengambil tindakan-tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad ibn Abi Bakr diangkat menjadi Gubernur Mesir.
Dalam pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di Shiffin, tentara Ali dapat mendesak tentara Muawiyah sehingga yang tersebut akhir ini bersedia untuk lari. Tetapi tangan kanan Muawiyah, Amr ibn al-Ash yang terkenal sebagai orang yang licik, dan minta berdamai dengan mengangkat Al-Quran keatas. Qurra’ yang ada dipihak Ali mendesak Ali supaya menerima tawaran itu, dan dengan demikian dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbit rase. Sebagai pengantara diangkat 2 orang:
Amar ibn Al-Ash dari pihak muawiyah dan Abu Musa Al-Asy’ari dan pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan ‘amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan antara keduanya terdapat permupakatan untuk menjatuhkan ke-2 pemuka yang bertentangan. Ali dan Muawiyah, Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Basy’ari, sebagai yang tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumkan kepada orang ramai putusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan itu. Berlainan dengan apa yang telah disetujui, Amr Ibn Al-Ash mengumumkan hanya menyetujui ‘Ali yang telah diumumkan Al-Asy’ari, tetapi menolak penjatuhan Muawiyah.
Bagaimanapun peristiwa ini merugikan bagi Ali dan menguntungkan bagi Muawiyah yang legal menjadi khalifah sebenarnya hanyalah Ali. Sedangkan Muawiyah kedudukannya tidak lebih dari Gubernur daerah yang tidak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Jadi, dengan adanya arbitrase ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan keputusan ini ditolak Ali dan tidak mau meletakkan jabatannya sampai ia mati terbunuh di tahun 661 M.
Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr al-Ash untuk mengadakan arbitrase, sungguh dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia. Keputusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-Quran. Mereka memandang Ali ibn Abi Thalib telah berbuat salah dan oleh karena itu meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah Islam terkenal dengan nama al-Khawarij. Yaitu orang-orang keluar dan memisahkan diri atau seceders.
Karena memandang Ali bersalah dan berbuat dosa mereka melawan Ali. Akhirnya Ali menghadapi dua musuh, yaitu Muawiyah dari satu pihak dan Khawarij dari pihak lainnya. Karena selalu mendapat serangan dari kedua kedua belah pihak ini. Ali terlebih dahulu memusatkan usahanya untuk menghancurkan kaum Khawarij. Tetapi setelah mereka ini kalah, tentara Ali ibn Abi Thalib wafat. Ia dengan mudah memperoleh pengakuan sebagai khalifah umat Islam di tahun 661 M. Persoalan ini terjadi dalam lapangan politik yang digambarkan diatas adalah yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr ibn Al-‘Ash, Abu Musa Al-Asy’ary dan lain-lain. Yang meneriama arbitrase adalah kafir, karena Al-Quran mengatakan:
Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan, la hukma illa lillah. Karena keempat pemuka Islam di atas telah dipandang kafir, dalam arti bahwa mereka telah keluar dari Islam yaitu murtad. Maka kaum Khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tapi menurut sejarah hanya orang yang dibebani membunuh Ali ibn Abi Thalib yang berhasil dalam tugasnya. Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Bahwa persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam, yaitu:
1. Aliran Khawarij mengatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar Islam atau tegasnya murtad, oleh karena itu wajib dibunuh.
2. Aliran Murji’ah bahwa orang yang berbuat dosa besar tetapi masih mukmin dan bukan kafir.
3. Aliran ketiga Mu’tazilah bahwa tidak menerima pendapat diatas. Bagi mereka orang yang berbuat dosa besar bukan kafir akan tetapi bukan pula mukmin. Orang yang serupa ini kata mereka mengambil posisi diantara kedua posisi mukmin dan kafir dalam bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al-Manjilah Bain al-Manjilitain (posisi diantara dua posisi).
Jadi, aliran yang ke-3 inilah yang akan kami paparkan, diantara masalah yang akan kami paparkan mengenai Mu’tazilah ialah:
a. Pengertian Mu’tazilah
b. Latar belakang adanya aliran Mu’tazilah
c. Gerakan kaum Mu’tazilah
d. Prisip-prisip Mu’tazilah
e. Tokoh-tokoh dalam Mu’tazilah
Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah. Aliran-aliran Khawarij, Murzi’ah dan Mu’tazilah tidak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah, yang ada hanya pemikirannya. Yang masih ada sampai sekarang adalah aliran-aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dan keduanya di sebut Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Aliran Maturidiah ini banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariah pada umumnya dipakai oleh umat Islam Sunni lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
ALIRAN MU’TAZILAH DAN PEMIKIRAN KALAMNYA
A. Pengertian Mu’tazilah
Menurut Badri Yatim (2000 : 337), dalam bukunya yang berjudul sejarah peradaban Islam , Mu’tazilah adalah aliran teologi yang rasional dalam Islam.
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang di bawa kaum Khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasannya, mereka banyak memakai akal atau rasio sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam.” (Harun Nasutian, 1983: 38)
Ada beberapa ciri kelompok teologi yang dikategoriakan rasional, yaitu: aliran yang menganut paham atau pemikiran teologi yang banyak menggunakan kekuatan akal. Mereka mengatakan bahwa akal mempunyai daya kuat serta memberi interpretasi secara liberal terhadap teks ayat-ayat Al-Quran dan Hadis. Dengan demikian, timbullah pemikiran liberal. Mereka hanya terkait pada dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebut dalam Al-Quran dan Hadis yang qath’I. ayat-ayat seperti ini tidak banyak terdapat dalam Al-Quran. Karena itu, penyesuaian hidup dengan peredaran zaman dan perubahan kondisi yang sangat luas.
B. Latar Belakang Munculnya Aliran Mu’tazilah
Telah diketahui aliran Mu’tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam Islam yang dapat dikelompokkan sebagai kaum rasionalis Islam , disamping Maturidiah Samarkand. Aliran ini muncul sekitar abad pertama hijriah, di kota Basrah yang ketika itu menjadi kota sentral ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam. Disamping itu juga, aneka kebudayaan asing dan macam-macam agama bertemu di kota itu. Dengan semakin luas dan banyaknya penganut Islam, semakin banyak pula musuh-musuh yang ingin menghancurkan, baik dari internal umat Islam secara politis maupun dari eksternal umat Islam secara dogmatis.
Mereka yang non Islam merasa iri melihat perkembangan Islam begitu pesat sehingga berupaya untuk menghancurkannya.adapun hasrat untuk menghancurkan Islam dikalangan pemeluk Islam itu sendiri, muncul karena tindak ikhlasnya mereka dalam memeluk Islam. Ketidak ikhlasan ini muncul pada permulaan periode daulah Ummayah yang mengembangkan Arabisme. Para khalifah Ummayah terlalu banyak memberikan kesempatan untuk memegang jabatan pemerintahan kepada orang-orang Islam yang berasal dari bangsa Arab. Mereka yang merasa tidak puas beranggapan bahwa kejayaan bangsa Arab disebabkan oleh pesatnya perkembangan Islam. Oleh karena itu, Islam yang menyebabkan kejayaan bangsa Arab perlu dihancurkan dari dalam melalui penafsiran yang menyimpang.
Berbagai analisa yang dimajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah. Uraian tersebut pada peristiwa yang berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Washil Ibn’Ata’ dengan temannya ‘Amir ibn Ubaid dan hasan Al-Basri di Basrah sekitar tahun 700 M. Washil termasuk orang yang aktif mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan Al-Hasan Al Basri di mesjid Al-Basrah pada suatu hari, salah seorang dari pengikut kuliah (pengajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang kedudukan orang yang berdosa besar (Murtakibbal Al-Kabair). Mengenai pelaku dosa besar, Khawarij menyatakan kafir, sedangkan Murji’ah menyatakan mukmin. Ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba Washil menyatakan ketidak setujunya mengenai kedua pendapat itu. Menurutnya pelaku dosa besaaar bukan mukmin dan bukan kafir, akan tetapi berada diantar posisi keduanya (Al-Manzilah baina al-Manzilatain ). Setelah itu ia berdiri dan meninggalkan al-Hasan Karena tidak setuju dengan sang guru dan membentuk pengajian baru. Atas peristiwa ini , al-Hasan berkata: “I’tazalna” (washil menjauhkan diri dari kita). Jadi dari sinilah nama Mu’tazilah dikenalkan kepada mereka. Aliran ini selanjutnya dikembangkan oleh pengikut dan murid washil sendiri.
Menurut al-Baghdadi, Washil dan temannya ‘Amr Ibn ‘Ubaid Ibn Bab diusir oleh Hasan al-Bashri dari ,majlisnya karena adanya pertikaian antara mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar, keduanya itu menjauhkan diri dari Hasan al-Bashri dan mereka beserta pengikut-pengikutnya disebut kaum Mu’tazillah karena mereka menjauhkan diri dari paham umat Islam tentang orang yang berdosa besar. Menurut mereka orang yang serupa ini tidak mukmin dan pula tidak kafir. Demikian keterangan al-Baghdadi tentang pemberian nama Mu’tazillah kepada golongan ini. Di dalam versi yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah, menyebut bahwa Qatadah ibn Dammah pada suatu hari untuk ke masjid Basrah dan menuju ke majelis Amr ibn Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan al-Bashri. Setelah ternyata baginya bahwa itu bukan majelis Hasan al-Bashri, ia berdiri dan meninggalkan tempat itu sambil berkata: “ini kaum Mu’tazilah”. Semenjak itu, kata Tasy Kubra Zadah, mereka disebut kaum Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberi keterangan lain lagi, yaitu dengan tidak mempertalikan pemberian nama itu dengan peristiwa pertikaian faham antara Washil dan ‘Amr dari satu pihak dan Hasan al-Bashri dari pihak lain. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi antara dua posisi itu (al-Manzilah dan al-Manzilatain). Menurut versi ini mereka disebut kaum Mu’tazilah. Karena mereka membuat orang berdosa jauh (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.
Disamping keterangan-keterangan klasik ini ada teori baru yang dimajukan oleh Ahmad Amin. Nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa wasil dengan Hasan al-bashri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Kalau itu di pakai sebagai designatie terhadap golongan-golongan orang yang tidak mau turut campur dalam pertikaian-pertikaian politik yang terjadi di zaman Usman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib. Mereka menjauhkan diri dari golongan yang saling bertikai. Golongan yang menjauhkan diri ini memang dijupai di dalam buku-buku sejarah. At-Tabari umpamanya menyebut bahwa sewaktu sewaktu Qais ibn sa’ad sampai di Mesir sebagai Gubernur dari Ali ibn Abi Thalib, ia menjumpai pertikaian disana. Satu golongan turut padanya dari satu golongan lagi menjauhkan diri ke Kharbita (I’tazalat ila kharbita). Dalam suratnya kepada khalifah, Qais menamai mereka mereka “Mu’tazilah” kalau A-Tabari menyebut dengan nama “Mu’tazilin”, Abu al-Fida memakai kata Al-Mu’tazilah. Salah satu cirri dari Mu’tazilah ialah suka berdebat, terutama dihadapan umum. Jadi kata-kata “I’tazala” dan “Mu’tazilah” telah dipakai kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Washil dengan Hasan al-Bashri dalam arti golongan yang tidak mau turut campur dalam pertikaian politik yang ada di zaman mereka.
Dengan demikian golongan Mu’tazilah pertama ini mempunyai corak politik dan dalam pendapat Ahmad Amin Mu’tazilah kedua yaitu golongan yang ditimbulkan wasil juga mempunyai corak sendiri, karena mereka sebagai kaum Khawarij dan kaum Murji’ah, juga membahas praktek-praktek politik yang dilakukan Usman, Ali, Muawiyah dan sebagainya. Perbedaan antara keduanyaialah bahwa persoalan teologi dan filsafat kedalam ajaran-ajaran dan pemikiran mereka.
Sebenarnya, kaum Mu’tazilah adalah suatu kaum yang membikin heboh dunia islam selama 300 tahun pada abad-abad permulaan heboh.kaum Mu’tazilah dalam sejarahnya pernah membunuh ribuan ulama Islam, diantara ulama Islam yang terkenal Syeikh Buwathi. Imam pengganti Imam Syafi’I, dalam suatu peristiwa yang dinamai peristiwa Qur’an Makhluk. Imam Ahmad ibn Hambal pembangun mahzab Hambali mengalami pula siksaan dalam penjara selama 15 tahun. Akibat peristiwa itu, faham Mu’tazilah telah tersebar dan berkuasa pada masa-masa khalifah ma’mun bin Harun rasyid, khalifah al-Mu’tashim bin harun Rasyid dan khalifah al watsiq bin Al-mu’tashim sekitar abad ketiga, keempat, keliam Hijriah. Pada faham Mu’tazilah sampai sekarang ini (tahun 1378 H) atau tahun 1967 M masih menyusup kedalam masyarakat umat Islam dibarat dan di timur dan bahkan sampai ke kota Indonesia. Oleh karena itu sudah selayakjnya kalau faham mu’tazilah mendapat sorotan yang sedalam-dalamnya dan analism yang sebaik-baiknya. Agar umat Islam yang baik jangan terperosok kedalam I’tikadnya yang sesat lagi menyesatkan.
Dalam sejarah dikatakan bahwa munculnya kaum Ahlu Sunnah wal Jama’ah yang dikepalai oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari adalah karena hendak meluruskan faham Mu’tazilah yang salah dan sesat ini. Kalau tidaklah muncul kaum Ahlu Sunnah wal Jamaah yang memelihara dan membentengi faham dan I’tikad umat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabat beliau, niscaya sudah hancurlah I’tikad yang bersih suci itu akibat serangan Mu’tazilah yang sesat ini. Adapun ajaran-ajaran yang dibawa washil antara lain:
1. Faham al-Manzilan Bain al-manzilatain (posisi diantara dua posisi) dalam artian posisi menengah.
2. Faham Qadariyah yang dianjurkan oleh Ma’bad dan Ghailand.
3. Ajaran tentang bentuk peniadaan tentang sifat-sifat tuhan (dalam artian bahwa apa-apa yang disebut sifat Tuhan sebenarnya bukanlah sifat yang mempunyai wujud tersendiri di luar Dzat). Dzat disini di pakai bukan sebagai benda materi yang dalam bahasa Indonesia, tetapi dalam arti aslinya dipakai dalam bahasa Arab yakni esensi.
C. Gerakan kaum Mu’tazialah
Gerakan kaum Mu’tazilah pada mulanya mempunyai 2 cabang, yaitu:
1. Cabang Basrah (Irak) yang dipimpin oleh Washil bin ‘Atha (meninggal 131 H). Dan Umar bin Ubaid (meninggal 144 H) dengan murid-muridnya, yaitu ustman At-Thawil, Hafasah bin Salim, Hasan bin Zakwan, Khalid bin Safwan dan Ibrahim bin Yahya al Madani.
2. Cabang Baghdad (Iraq), cabang ini didirikan oleh Basyar bin al Mu’tamar, salah seorang pemimpin Basrah yang pindah ke Baghdad kemudian disokong oleh pembantu-pembantunya, yaitu Abu Musa al-Murdar, Ahmad bin Abi Daud (meninggal 240 H), Ja’far bin Mubassyar (meninggal 234 H), dan Ja’far bin Harb al-Hamdani (meninggal 236 H).
Mengenai pertumbuhan Mu’tazilah itu sendiri ialah Mu’tazilah adalah satu macam diantara gerakan-gerakan yang timbul pada masa kekuasaan Daulah Umawiyah. Gerakan ini mempunyai watak yang berbeda dari gerakan-gerakan yang telah kita bicarakan sebelumnya. Dia adalah gerakan-gerakan keagamaan semata, tidak pernah membentuk pasukan dan tidak pernah menghunus pedang. Dan senjata Mu’tazilah adalah falsafah dan akal (A. Syalabi, 2003 : 295).
D. Prinsip-Prinsip Mu’tazilah
Menurut buku Pengantar Studi Islam yang di tulis oleh (Erwin Mahrus dan Moh. Haitami Salim,2008: 110-112), bahwa prinsip-prinsip yang dianut oleh mazhab Mu’tazilah ialah:
1. Keadilan
Dalam hal keadilan mereka lebih banyak menitikberatkan pada pertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, karena itu mereka menafsirkan keadilan itu sebagai berikut:
“Tuhan tidak menghendaki keburukan, tapi manusia sendirilah yang menghendaki keburukan itu. Allah memerintahkan apa yang dikhendaki-Nya dan melarang apa yang diperintahkan-Nya untuk dikerjakan. Manusia dengan qudrat (kekuasaan) yang dijadikan Allah pada dirinya, dapat mengerjakan yang baik, maka bila ia mengerjakan yang buruk berarti ia sendirilah yang menghendakinya.
2. Tauhid
Tauhid adalah dasar utama dan pertama dalam aqidah islam, jadi prinsip Tauhid ini bukan hanya kepunyaan orang Mu’tazilah saja, tapi prinsip seluruh umat Islam, akan tetapi orang Mu’tazilah mempermasalahkannya lebih mendalam, sehingga prinsip yang pertama ini menimbulkan beberapa kelanjutan lainnya, antara lain:
a) Menafikan sifat Allah, mereka tidak mengakui adanya sifat Tuhan. Tidak ada yang qadim selain zat Allah. Apa yang dianggap atau disebut sifat Allah tidak bisa dipisahkan dari zat Tuhan itu sendiri.
b) Al-Quran adalah makhluk, yang qadim hanya zat Allah, sedangkan kalamullah itu tidak ada pada zat Allah, tetapi berada diluarnya, karena itu dia tidak qadim.
c) Mengingkari bahwa Tuhan itu tidak dapat dilihat dengan mata kepala, yang dapat dilihat dengan mata kepala itu berarti bukan Tuhan.
d) Menta’wilkan ayat-ayat yang terkesan adanya persamaan antara Tuhan dengan manusia.
3. Janji dan ancaman
Janji Allah yang akan member pahala atau siksa di akhirat kelak pasti akan dilaksanakan, karena itu bagi Mu’tazilah tidak mengenal adanya syafaat pada hari kiamat nanti, syafaat atau pengampunan bertentangan dengan janji Tuhan. Jadi prinsip ini merupakan kelanjutan dari keadilan.
4. Tempat diantara dua tempat
Orang yang berbuat dosa besar tanpa tobat sebelum meninggal dunia maka kedudukan orang itu bukan mukmin, tapi bukan pula kafir secara mutlak, karena ia mengucapkan syahadat, akan tetapi orang itu disebut fasik. menempati antara status mukmin dan kafir, diklasifikasikan sebagai berdiri sendiri.
5. Baik dan buruk menurut pertimbangan akal
Prinsip ini lebih banyak berhubungan dengan soal amaliah atau fikih, namun golongan ini sangat gigih melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar, bahkan dalam sejarah Mu’tazilah pernah menggunakan kekerasan dalam pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar, sekalipun terdapat umat islam sendiri antara lain peristiwa al-Mihnah.
E. Tokoh-Tokoh yang Menganut Aliran Mu’tazilah
Tokoh-tokoh yang menganut aliran mu’tazilah ini menurut (Siradjudin Abbas, 1985 : 176-175), di antaranya adalah:
1. Washil bin ‘Atha
2. Umar bin Ubeid
3. Usman at Thawil
4. Hafasah bin Salim
5. Hasan bin Zakwan
6. Khalid bin Safwan
7. Ibrahim bin Yahya al-Madani
8. Yazid bin Walid (khalifah bani Ummayah, berkuasa pada tahun 125-126 H)
9. Ma’mun bin Harun rasyid, khalifah Abbas (berkuasa dari tahun 198-218 H)
10. Al-MU’tashim bin Harun ar Rasyid (berkuasa pada tahun 218 H-227 H)
11. Dll,.
F. Kedudukan Akal bagi Mu’tazilah
Sepanjang sejarahnya bahwa salah satu keistimewaan bagi kaum Mu’tazilah ialah cara mereka membentuk mazhabnya, banyak mempergunakan akal dan lebih mengutamakn akal bukan mengutamakan Quran dan Hadis.
Kalau ditimbang akal dengan Hadis Nabi maka akal lebih berat bagi mereka. Mereka lebih memuji akal mereka disbanding dengan ayat-ayat suci dan hadis-hadis Nabi.
Barang sesuatu ditimbangnya lebih dahulu dengan akalnya, mana yang tidak sesuai dengan akalnya dibuangnya walaupun ada hadis dan ayat Al-Quran yang bertalian dengan masalah itu tetapi berlawanan dengan akalnya.
Akal bagi kaum Mu’tazilah diatas Al-Quran dan Al-Hadis, dan begitu juga sebaliknya kaum Ahlu Sunnah berpendapat bahwa Al-Quran dan Al-hadis lebih tinggi dari akal. Bagi kaum Mu’tazilah akal itu menjadi raja.
G. New Mu’tazilah
Gambaran dari Mu’tazilah hari ini adalah islam liberal. Pemikiran ini telah masuk keberbagai kampus-kampus di Indonesia. Mereka jajakan pemikiran-pemikiran mereka kepada para mahasiswa dan dosen Islam. Dan bahkan tokoh-tokoh seperti Hasyim Muzadi dan Masdar F mas’udi dari NU, Syafi’I Ma’arif dan Moeslim Abdurrahman dari Muhammadiyah, Nurcholis Majid dari Universitas Paramadina, atau Azyumardi Azra dari Institut Agama Islam Negeri Jakarta menjadi pendukung-pendukungnya.
Tujuan JIL (Jariingan Islam Liberal) adalah mencegah pandangan keagamaan yang militan dan pro-kekerasan menguasai wacana public Indonesia. Luthfi dalam situs islamlib.com menjelaskan Islam liberal “protes dan perlawanan” terhadap dominasi islam ortodoks baik yang wajahnya fundamentalis maupun konservatif. Kira-kira siapa yang menjadi sasaran mereka? Siapa lagi kalau bukan organisasi dan tokoh yang mengusung jihad dan amar ma’ruf nahi munkar semacam Front Pembela Islam, Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT), Majlis Mujahidin dan yang lainnya. Mereka tidak sekali dua kali melancarkan kritik terhadap organisasi-organisasi itu dalam web maupun mailing list Islam Liberal. (http://74.125.153.132/search?cache:JiPhzMvj2BYJ:blog.re.or.id/mu’tazilah)
H. Pandangan-pandangan Mu’tazilah Dengan Kehadiran Jaringan Islam Liberal (JIL)
Sebelum kami mengaitkan pandangan-pandangan mu’tazilah dengan kehadiran JIL (Jaringan Islam Liberal). Alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentag JIL (Jaringan Islam Liberal).
Dari hasil wawacara saya ke, pada kakak tingkat semester V dapat saya simpulkan bahwa JIL (Jaringan Islam Liberal) adalah kelompok orang-orang yang berfikir bebas berdasarkan rasio. Kelompok tersebut itu membentuk organisasi atau suatu perkumpulan dimana mereka itu saling bertukar paham dan tidak saling menjatuhkan dan mereka juga menyamakan Agama satu dengan Agama yang lain.
Orang-orang yang berfikir liberal yang dinilai menghina islam di Indonesia dan Malaysia berhadapan dengan ulama dan umat Islam. Ulil Abshar Abdalla (35 tahun) coordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) di Jakarta diadukan ke polisi Desember 2002/syawal 1423 Hkarena dinilai telah menghina Islam lewat tulisannya di Koran kompas: 18 November 2002 M, berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Sementara itu orang-orang liberal di Malaysia, diantaranya: Zainah Anwar, Kassim Ahmad, Faris A Noor, dan Akbar Ali dinyatakan oleh persatuan ulama Malaysia dan sejumlah organisasi Islam sebagai menghina Islam, dan diadukan kepada penguasa.
Sebagaimana pernah ditulis GATRA, Desember 2001 jaringan ini mewadahi pengembangan pemikiran keislaman yang kritis, pluralis, dan membawa misi pembebasan Nurcholis Majid dan Abdurrahman Wahid tercatat sebagai sedikit pemikir Muslim Indonesia yang menjadi “mascot” madzhab JIL (Jaringan Islam Liberal). Konsolidasi jaringan ini dimasukan sebagai respons atas menguatnya ekstrimisme dan fundamentalisme Agama.
Berikut ini kumpulan lontaran tokoh-tokoh liberal hasil pelacakan Adian Husaini (2004). Kemudian komentar terhadap kutipan-kutipan tokoh nyeleneh dan liberal dalam teks ini dibuat oleh Hartoro Ahmad Jaiz (2005: 54-56).
Islam liberal meruntuhkan dasar Islam:
1. Merusak makna islam, Iman, Mukmin, dan kafir.
2. Mendelegitimasi (meragukan keabsahan) mushaf Utsmani dan menawarkan Al-Quran edisi kritis.
3. Mempersamakan Al-Quran dan Kitab Agama lain.
4. Mendelegitimasi (meragukan keabsahan) tasir Al-Quran.
5. Meruntuhkan syariat Islam.
6. Mengikuti jejak Yahudi - Kristian.
Program liberalism Islam (Dr. Greg Barton):
1. Pentingnya kontekstualisasi ijtihad.
2. Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan.
3. Penerimaan terhadap pluralisme social dan pluralisme Agama-Agama.
4. Pemisahan Agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian Negara.
Tokoh-tokoh awal islam Liberal Indonesia (Greg Barton):
1. KH. Abdurrahman Wahid (tokoh NU-dan pernah menjadi presiden RI 1999 – 2001 yang diturunkan oleh MPR pimpinan Amien Rais dalam sidangnya, karena kasus dana bulog. Tokoh yang sebutannya Gusdur ini dikenal nyeleneh, diantaranya melontarkan bahwa lafal Assalamu’alaikum bisa saja dig anti dengan selamat pagi.
2. Prof. Dr. Nurcholis Majid (mendiang), orang HMI yang diasuh oleh beberapa orang pendeta Nasrani kemudian kuliah di fakultas tinggi filsafat – teologi Katolik Driyakara di Jakarta. Dia sangat liberal dan berfaham semua agama sama, hingga Karl Mark pun surganya sama dengan surge Nabi Muhammad SAW.
3. Djohan Effendi (orang HMI yang resmi menjadi anggota Ahmadiyah di Yogyakarta dan memasarkan faham liberal dan pluralisme Agama dengan Ahmad Wahib dalam training-training HMI).
Dan faham-faham yang ada pada Jaringan Islam Liberal (JIL) antara lain:
1) Liberalisme : Bebas
2) Sekulerisme : Pemisahan antara Agama dengan Negara
3) Pluralisme : Menyamakan Agama yang satu dengan Agama yang lain
Pemikiran JIL (Jaringan Islam Liberal) merupakan bagian dari pemikiran Mu’tazilah yaitu menganut paham liberal. Jadi kaum Mu’tazilah memandang kehadiran JIL (Jaringan islam Liberal) merupakan kehadiran kembali pemikiran mereka , karena mereka satu paham.
BAB III
PENUTUP
Semua aliran teologi dalam Islam baik Asy’ariyah, Maturidiah apalagi Mu’tazilah sama-sama mempergunakan akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologi yang timbul dikalangan umat Islam. Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan dalam derajat kekuatan yang diberikan kepada akal. Kalau Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat dan Asy’ariah sebaliknya mempunyai daya yang lemah.
Dalam masyarakat Islam pada umumnya golongan yang menganut teologi liberal, tegasnya kaum Mu’tazilah dianggap kafir dan keluar Islam. Karena dianggap bahwa mereka hanya percaya pada akal dan tidak percaya pada walinya sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian diatas. Kaum Mu’tazilah sama halnya dengan kaum Asy’ariyah juga percaya dan berpegang pada wahyu. Lain sebab yang biasanya dibaca pada umumnya adalah buku-buku yang dikarang oleh teolog-teolog dari aliran Asy’ariyah dan Maturidiah’ dalam buku-buku inilah tuduhan kekafiran kaum Mu’tazilah biasa dijumpai, tetapi malah sebaliknya kalau dibaca pula karangan-karangan kaum Mu’tazilah, terdapat pula dengan kata lain kedua belah pihak saling kafir mengkafirkan.
1. Kaum Mu’tazilah amat berlebihan dalam menghormati dan menggambarkan akal. Sedangkan akal itu sendiri sering keliru dan salah.
2. Agama Islam terkenal dengan sifat yang mudah dan gampang, akan tetapi kaum Mu’tazilah telah menyebabkan akidah Islam yang mudah menjadi ruwet dan berbelit-belit, yaitu dengan memasukan filsafat dan pelajaran mengenai ketuhanan dan alam yang tidak dapat memperjelas ajaran tentang Islam, bahkan membuatnya jadi kabur.
3. Kaum Mu’tazilah menyelami lautan filsafat untuk mempertahankan agama Islam, akan tetapi banyak diantara mereka mmemakai senjata tersebut untuk menikam diri sendiri.
4. Ketika kaum Mu’tazilah membahas tentang kekacauan yang terjadi pada permulaan Islam, kebanyakan mereka membolehkan untuk mencela para sahabat Nabi.
Kesemua factor diatas disamping dukungan mereka untuk menggunakan kekerasan terhadap orang-orang yang tidak menerima pendapat tentang “Khalqut Quran”, kesemuanya itu telah menyebabkan orang-orang pada lari dari lingkungan Mu’tazilah dan kemudian menyebabkan kelemahan dan keruntuhan mazhab mereka.
Pada hakekatnya tujuan JIL (Jariingan Islam Liberal) dalam New mu’tazilah adalah mencegah pandangan keagamaan yang militan dan pro-kekerasan menguasai wacana public Indonesia. Dan pemikiran JIL (Jaringan Islam Liberal) merupakan bagian dari pemikiran Mu’tazilah yaitu menganut paham liberal. Jadi kaum Mu’tazilah memandang kehadiran JIL (Jaringan islam Liberal) merupakan kehadiran kembali pemikiran mereka , karena mereka satu paham.
Pada hakekatnya semua aliran tersebut tidaklah keluar dari Islam, tetapi tetap dalam Islam. Dengan demikian setiap orang Islam bebas memilih salah satu dari aliran-aliran dalam teologi tersebut, sesuai dengan jiwa dan pendapatnya. Hal ini tidak ubahnya pula dengan kebebasan tiap orang Islam memilih mazhab fiqih mana yang sesuai dengan jiwa dan kecenderungannya. Disinilah kelihatan hikmah ucapan Nabi Muhammad SAW. “Perbedaan faham dikalangan umatku membawa rahmat.” Memang rahmat besarlah kalau kaum tepelajar seperti kita ini menjumpai dalam Islam aliran-aliran yang sesuai dengan jiwa dan pembawaannya, dan kalau pula kaum awam memperoleh dalamnya aliran-aliran yang dapat mengisi kebutuhan rohani mereka.
DAFTAR PUSTAKA
A Syalabi. 2003. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: PT Pustaka Al Husna Baru
Erwin Mahrus dan Moh. Haitami Salim. Pengantar Studi Islam. Pontianak: STAIN Pontianak Press
Harun Nasution. 1983. Teologi Islam Aliran-Aliran sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: Ul-Press
Jalaluddin Rahman. 1992. Konsep Perbuatan Manusia Menurut Quran. Jakarta: PT Bulan Bintang
Siradjuddin Abbas. 1985. Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Jakarta: Pustaka tarbiyah
Supina dan M Karman. 2003. Materi Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya