KATA PENGANTAR
Segala Puji dan syukur bagi Allah Rabb alam semesta. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan dan tauladan kita Muhammad Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Alhamdulillah, setelah dengan berbagai usaha mencari dan membaca buku-buku referensi tentang Bimbingan Konseling. Sehingga tersusunlah makalah ini, yang mana didalamnya kami mencoba membahas tentang Counceling Client-Centered Teraphy.
Dan tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu yang telah bersedia membimbing selama makalah ini dibuat. Serta kepada teman-teman yang telah bersedia memberikan informasi hingga makalah ini dapat terselesaikan dan juga kepada kedua orang tua yang selalu mendo’akan. Atas perhatian dan bimbingannya kami ucapkan terima kasih semoga makalah ini dapat bermanfa’at dan dapat menambah wawasan kita tentang: Counceling Client-Centered Teraphy. Dan makalah ini juga pastinya tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Karena itu saran dan kritik dari pembaca sangat kami harapan.
Pontianak, Desember 2010
Penulis,
DAFTAR ISI
Kata pengantar ………………………………………………………………….
Daftar Isi ……………………………………………………………………......
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………...
BAB II COUNCELING CLIENT-CENTERED TERAPHY ………….
A. Latar Belakang Histori Client-Centered Teraphy ……….....
B. Ciri-Ciri Pendekatan Client-Centered Teraphy …………….
C. Tujuan Client-Centered Teraphy …………………………...
D. Kasus yang Sesuai dengan Client-Centered Teraphy ………
E. Teknik-Teknik dalam Pendekatan Client-Centered Teraphy
F. Kelebihan dan Keterbatasan Client-Centered Teraphy …….
BAB III PENUTUP ……………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………..........
BAB I
PENDAHULUAN
Terapi berpusat pada klien (Client-Centered Teraphy) merupakan salah satu teknik alternatif dalam praktik pekerjaan sosial, terutama bagi terapis yang tidak begitu menguasai secara baik beberapa teori dan praktek pekerjaan sosial, walaupun begitu bukan berarti tanpa tantangan dan keahlian yang spesifik. Beberapa teori dan praktik pekerjaan yang bersifat dasar tetap menjadi kebutuhan mutlak dalam teknik terapi ini.
Carl R. Rogers mengembangkan terapi Client-Centered Teraphy sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan Client-Centered Teraphy adalah cabang khusus dari terapi humanistik yang menggarisbawahi tindakan mengalami klien berikut dunia subjektif dan fenomenalnya.[1]
Oleh sebab itu tulisan ini akan berusaha untuk menjelaskan tentang latar belakang histori Client-Centered Teraphy, ciri-ciri pendekatan Client-Centered Teraphy, tujuan Client-Centered Teraphy, kasus yang sesuai dengan Client-Centered Teraphy, tekhnik-tekhnik dalam pendekatan Client-Centered Teraphy serta kelebihan dan keterbatasan Client-Centered Teraphy.
BAB II
COUNCELING CLIENT-CENTERED TERAPHY
A. Latar Belakang Histori Client-Centered Teraphy
Istilah Client-Centered sukar diganti dengan istilah bahasa Indonesia yang singkat dan mengena. Paling-paling dapat dideskripsikan dengan mengatakan: corak konseling yang menekankan peranan konseli sendiri dalam proses konseling.[2] Atau biasa disebut juga konseling yang berpusat pada klien, sering pula disebut sebagai konseling teori diri (self theory), konseling nondirective, dan konseling Rogerian.[3]
Terapi Client Centered dipelopori oleh Carl R . Rogers sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya sebagai keterbatasan-keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya pendekatan Client Centered merupakan cabang khusus dari terapi Humanistik yang menggaris bawahi tindakan mengalami klien berikut dunia subjektif dan fenomenalnya. Teori dasar dari pendekatan humanistik merupakan teori kepribadian atau konsep tentang diri seseorang, yang oleh Maddi disebut sebagai a fulfillment model (model pemenuhan). Berdasarkan model ini, manusia dipandang sebagai diri yang sedang berjuang untuk menciptakan, mencapai sesuatu, atau menjadi seseorang. Dalam hal ini juga terapi Client-Centered ini tidak seperti terapi lain di mana keterampilan terapis harus dilakukan pada klien.[4]
B. Ciri-Ciri Pendekatan Client-Centered Teraphy
Rogers tidak mengemukakan teori Client-Centered sebagai suatu pendekatan terapi yang tetap dan tuntas. Ia mengharapkan orang lain akan memandang teorinya sebagai sekumpulan prinsip percobaan yang berkaitan dengan perkembangan proses terapi, dan bukan sebagai dogma. Menguraikan ciri-ciri yang membedakan pendekatan Client-Centered dari pendekatan-pendekatan lain. Berikut ini adaptasi dari uraian Rogers:[5]
1. Pendekatan Client-centered difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan secara lebih penuh. Klien sebagai orang yang paling mengetahui dirinya sendiri, adalah orang yang harus menemukan tingkah laku yang lebih pantas bagi dirinya.
2. Pendekatan Client-Centered menekankan dunia fenomenal klien. Dengan empati yang cermat dan dengan usaha untuk memahami klien. Dengan empati yang cermat dan dengan usaha untuk memahami kerangka acuan internal klien, terapis memberikan perhatian terutama pada persepsi diri klien dan persepsinya terhadap dunia.
3. Menurut pendekatan Client-Centered, psikoterapi hanyalah salah satu contoh dari hubungan pribadi dan konstruktif. Klien mengalami pertumbuhan psikoterapeutik di dalam dan melalui hubungannya dengan seseorang yang membantunya melakukan apa yang tidak bisa dilakukannya sendirian.
4. Terapi Client-Centered memasukan konsep bahwa fungsi terapis adalah tampil langsung dan bisa dijangkau oleh klien serta memusatkan perhatian pada pengalaman disini dan sekarang yang tercipta melalui hubungan antara klien dan terapis.
5. Teori Client-Centered dikembangkan melalui penelitian tentang proses dan hasil terapi.
6. Teori Client-Centered bukanlah suatu teori yang tertutup, melainkan suatu teori yang tumbuh melalui observasi-observasi konseling bertahun-tahun dan yang secara sinambung berubah sejalan dengan peningkatan pemahaman terhadap manusia dan terhadap proses terapeutik yang dihasilkan oleh penelitian-penelitian baru.
Jadi kesimpulannya, bahwa terapi Client-Centered ini bukanlah sekumpulan teknik, juga bukan suatu dogma. Pendekatan Client-Centered, yang berakar pada sekumpulan sikap dan kepercayaan yang ditunjukan oleh terapis, barangkali paling tepat dicirikan sebagai suatu cara ada dan sebagai perjalanan bersama dimana baik terapis maupun klien memperlihatkan kemanusiawiannya dan berpartisipasi dalam pengalaman pertumbuhan.
C. Tujuan Client-Centered Teraphy
Menurut Rogers (1961), pertanyaan “siapa saya”? mengantarkan kebanyakan orang kepada psikoterapi. Tujuan dasar terapi Client-Centered adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh.[6]
Tujuan lain dari terapi yang berpusat pada orang (klien) atau Client-Centered adalah mempertinggi tingkat independensi dan integrasi dari indipidu. Fokus terapi adalah pada orang, bukan pada masalah yang sedang dihadapi orang tersebut. Rogers (1977) percaya bahwa tujuan terapi bukanlah untuk memecahkan masalah tertentu, namun untuk membantu klien dalam menjalani proses pertumbuhannya, sehingga klien dapat menghadapi masalah yang sedang dihadapi maupun permasalahan di masa depan.
Adapun tujuan-tujuan dasar terapi Client-Centered, antara lain sebagai berikut:[7]
1. Keterbukaan pada Pengalaman
Sebagai lawan dari kebertahanan, keterbukaan pada pengalaman menyiratkan menjadi lebih sadar terhadap kenyataan sebagaimana kenyataan itu hadir di luar dirinya.
2. Kepercayaan pada Organisme Sendiri
Salah satu tujuan terapi adalah membantu klien dalam membangun rasa percaya terhadap diri sendiri. Dengan meningkatkannya keterbukaan klien terhadap pengalaman-pengalamannya sendiri, kepercayaan kilen kepada dirinya sendiri pun mulai timbul.
3. Tempat Evaluasi Internal
Tempat evaluasi internal ini berkaitan dengan kepercayaan diri, yang berarti lebih banyak mencari jawaban-jawaban pada diri sendiri bagi masalah-masalah keberadaannya. Orang semakin menaruh perhatian pada pusat dirinya dari pada mencari pengesahan bagi kepribadiannya dari luar. Dia mengganti persetujuan universal dari orang lain dengan persetujuan dari dirinya sendiri. Dia menetapkan standar-standar tingkah laku dan melihat ke dalam dirinya sendiri dalam membuat putusan-putusan dan pilihan-pilihan bagi hidupnya.
4. Kesediaan untuk menjadi Satu Proses
Konsep tentang diri dalam proses pemenjadian merupakan lawan dari konsep diri sebagai produk. Walaupun klien boleh jadi menjalani terapi untuk mencari sejenis formula guna membangun keadaan berhasil dan berbahagia, tapi mereka menjadi sadar bahwa pertumbuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan. Para klien dalam terapi berada dalam proses pengujian persepsi-persepsi dan kepercayaan-kepercayaannya serta membuka diri bagi pengalaman-pengalaman baru, bahkan beberapa revisi.
Tujuan-tujuan terapi yang telah diuraikan diatas adalah tujuan-tujuan yang luas, yang menyajikan suatu kerangka umum untuk memahami arah gerakan terapeutik. Terapis tidak memiliki tujuan-tujuan yang khusus bagi klien. Tonggak terapi Client-Centered adalah anggapan bahwa klien dalam hubungannya dengan terapis yang menunjang, memiliki kesanggupan untuk menentukan dan menjernihkan tujuan-tujuannya sendiri. Bagaimanapun, banyak konselor yang mengalami kesulitan dalam memperbolehkan klien untuk menetapkan sendiri tujuan-tujuannya yang khusus dalam terapi.
D. Kasus yang Sesuai dengan Client-Centered Teraphy
Seseorang akan menghadapi persoalan jika diantara unsur-unsur dalam gambaran terhadap diri sendiri timbul konflik dan pertentangan, lebih-lebih antara siapa saya ini sebenarnya (real self) dan saya seharusnya menjadi orang yang bagaimana (ideal self). Berbagai pengalaman hidup menyadarkan orang akan keadaan dirinya yang tidak selaras itu, kalau keseluruhan pengalaman nyata itu sungguh diakui dan tidak di sangkal.
Berikut ini ada contoh kasus yang biasa ditangani oleh pendekatan Client-centered. Misalnya, seorang mahasiswi mengira bahwa dia sangat sayang pada adiknya yang perempuan, tetapi pada suatu saat dia mulai sadar akan tingkah lakunya yang bertentangan dengan fikiran itu, karena ternyata dia berkali-kali mengucapkan kata-kata yang sengit penuh rasa iri kepada adiknya yang sudah mempunyai pacar.[8] Padahal, terhadap adik sendiri seorang kakak tidak boleh bertindak begitu. Pengalaman yang nyata ini menunjuk pada suatu pertentangan antara siapa saya ini sebenarnya dan seharusnya menjadi orang yang bagaimana. Bilamana mahasiswi mulai menyadari kesenjangan dan mengakui pertentangan itu, dia menghadapi keadaan dirinya sebagaimana adanya. Kesadaran yang masih samar-samar akan kesenjangan itu menggejala dalam perasaan kurang tenang dan cemas serta dalam evaluasi diri sebagai orang yang tidak pantas (worthless). Mahasiswi ini siap untuk menerima layanan konseling dan menjalani proses konseling untuk menutup jurang pemisah antara dua kutub di dalam dirinya sendiri, serta akhirnya menemukan dirinya kembali sebagai orang yang pantas (person of worth).
E. Teknik-Teknik dalam Pendekatan Client-Centered Teraphy
Rumusan-rumusan yang lebih dini dari pandangan Rogers tentang psikoterapi memberi penekanan yang lebih besar pada tekhnik-tekhnik. Perkembangan pendekatan Client-Centered disetai oleh peralihan dari penekanan pada teknik-teknik terapeutik kepada penekanan pada kepribadian, keyakinan-keyakinan, dan sikap-sikap terapis, serta pada hubungan terapeutik. Hubungan terapeutik, yang selanjutnya menjadi variabel yang sangat penting, tidak identik dengan apa yang dikatakan atau yang dilakukan oleh terapis. Dalam kerangka Client-Centered, tekhnik-tekniknya adalah pengungkapan dan pengomunikasian penerimaan, respek, dan pengertian, serta berbagai upaya dengan klien dalam mengembangkan kerangka acuan internal dengan memikirkan, merasakan, dan mengeksplorasi. Menurut pandangan pendekatan Client-Centered, penggunaan teknik-teknik sebagai muslihat terapis akan mendepersonalisasikan hubungan terapis klien.[9]
Teknik-teknik harus menjadi suatu pengungkapan yang jujur dari terapis, dan tidak bisa digunakan secara sadar diri, sebab dengan demikian terapis tidak akan menjadi sejati. Konkritnya, menurut Corey wawancara merupakan tekhnik utama dalam konseling. Bahkan penyembuhan diri konseli sendiri dilakukan melalui akibat tidak langsung dari proses diskusi antara konselor dan konseli.[10]
F. Kelebihan dan Keterbatasan Client-Centered Teraphy
Pendekatan Client-Centered merupakan corak yang dominan yang digunakan dalam pendidikan konselor, beberapa alasannya adalah:[11]
1. Terapi Client-Centered memiliki sifat keamanan.
2. Terapi Client-Centered menitikberatkan mendengar aktif, memberikan respek kepada klien, memperhitungkan kerangka acuan internal klien, dan menjalin kebersamaan dengan klien yang merupakan kebalikan dari menghadapi klien dengan penafsiran-penafsiran.
3. Para terapis Client-Centered secara khas mereflesikan isi dan perasaan-perasaan, menjelaskan pesan-pesan, membantu para klient untuk memeriksa sumber-sumbernya sendiri, dan mendorong klien untuk menemukan cara-cara pemecahannya sendiri.
Jadi, terapi Client-Centered jauh lebih aman dibanding dengan model-model terapi lain yang menempatkan terapis pada posisi direktif, membuat penafsiran-penafsiran, membentuk diagnosis, menggali ketaksadaran, menganalisis mimpi-mimpi, dan bekerja ke arah pengubahan kepribadian secara radikal.
Pendekatan Client-Centered dengan berbagai cara memberikan sumbangan-sumbangan kepada situasi-situasi konseling individual maupun kelompok atau dengan kata lain memiliki beberapa kelebihan, antara lain:[12]
1. Memberikan landasan humanistik bagi usaha memahami dunia subyektif klien, memberikan peluang yang jarang kepada klien untuk sungguh-sungguh didengar dan mendengar.
2. Mereka bisa menjadi diri sendiri, sebab mereka tahu bahwa mereka tidak akan di evaluasi dan dihakimi.
3. Mereka akan merasa bebas untuk bereksperimen dengan tingkah laku baru.
4. Mereka dapat diharapkan memikul tanggung jawab atas diri mereka sendiri, dan merekalah yang memasang langkah dalam konseling.
5. Mereka yang menetapkan bidang-bidang apa yang mereka ingin mengeksplorasinya di atas landasan tujuan-tujuan bagi perubahan.
6. Pendekatan Client-Centered menyajikan kepada klien umpan balik langsung dan khas dari apa yang baru dikomunikasikannya.
7. Terapis bertindak sebagai cermin, mereflesikan perasaan-perasaan kliennya yang lebih dalam.
Jadi kesimpulanya, bahwa klien memiliki kemungkinan untuk mencapai fokus yang lebih tajam dan makna yang lebih dalam bagi aspek-aspek dari struktur dirinya yang sebelumnya hanya diketahui sebagian oleh klien. Perhatian klien difokuskan pada banyak hal yang sebelunya tidak diperhatikannya. Klien oleh karenanya bisa meningkatkan sendiri keseluruhan tindakan mengalaminya.
Adapun kelemahan pendekatan Client-Centered terletak pada beberapa hal berikut ini:[13]
1. Cara sejumlah pemratek menyalahtafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap sentral dari posisi Client-Centered.
2. Tidak semua konselor bisa mempraktekan terapi Client-Centered, sebab banyak konselor yang tidak mempercayai filsafat yang melandasinya.
3. Membatasi lingkup tanggapan dan gaya konseling mereka sendiri pada refleksi-refleksi dan mendengar secara empatik.
4. Adanya jalan yang menyebabkan sejumlah pemraktek menjadi terlalu terpusat pada klien sehingga mereka sendiri kehilangan rasa sebagai pribadi yang unik.
Melihat beberapa kelemahan dari pendekatan Client-Centered di atas perlu adanya rekomendasi. Memang secara paradoks terapis dibenarkan berfokus pada klien sampai batas tertentu, sehingga menghilangkan nilai kekuatannya sendiri sebagai pribadi, dan oleh karena itu kepribadiannya kehilangan pengaruh. Terapis perlu menggarisbawahi kebutuhan-kebutuhan dan maksud-maksud klien, dan pada saat yang sama ia bebas membawa kepribadiannya sendiri ke dalam pertemuan terapi.
Jadi, orang bisa memiliki kesan bahwa terapi Client-Centered tidak hhlebih dari pada tekhnik mendengar dan merefleksikan. Tetapi Client-Centered berlandaskan sekumpulan sikap yang dibawa oleh terapis kedalam pertemuan denga kliennya, dan lebih dari kualitas lain yang mana pun, kesejatian terapis menentukan kekuatan hubungan terapeutik. Apabila terapis menyembunyikan identitas dan gayanya yang unik dengan suatu cara yang pasif dan nondirektif, ia bisa jadi tidak akan merugikan klien, tetapi bisa jadi juga tidak akan sungguh-sungguh mampu mempengaruhi klien dengan suatu cara yang positif. Keotentikan dan keselarasan terapis demikian vital sehingga terapis yang berpraktek dalam kerangka Client-Centered harus wajar dalam bertindak dan harus menemukan suatu cara mengungkapkan reaksi-reaksinya kepada klien. Jika tidak demikian, maka kemungkinan yang nyata adalah: terapi Client-Centered akan dikecilkan menjadi suatu corak kerja yang ramah dan aman, tetapi tidak membuahkan hasil.[14]
BAB III
PENUTUP
Terapi Client-Centered berlandaskan suatu filsafat tentang manusia yang menekankan bahwa kita memiliki dorongan bawaan kepada aktualisasi diri. Selain itu, Rogers memandang manusia secara fenomenologis, yakni ia beranggapan bahwa manusia menyusun dirinya sendiri menurut persepsi-persepsinya sendiri tentang kenyataan. Orang termotivasi untuk mengaktualkan diri dalam kenyataan yang dipersepsinya.
Teori Rogers berlandaskan dalil bahwa klien memiliki kesanggupan untuk memahami faktor-faktor yang ada dalam hidupnya yang menjadi penyebab ketidakbahagiaan. Klien juga memiliki kesanggupan untuk mengarahkan diri dan melakukan perubahan pribadi yang konstruktif. Perubahan pribadi akan timbul jika terapis yang selaras bisa membangun hubungan dengan klienya, suatu hubungan yang ditandai oleh kehangatan, penerimaan, pengertian empatik yang akurat. Konseling terapeutik berlandaskan hubungan Aku-Kamu, atau hubungan pribadi ke pribadi dalam keamanan dan penerimaan yang mendorong klien untuk menanggalkan pertahanan-pertahanannya yang kaku serta menerima dan mengintegrasikan aspek-aspek dari sistem dirinya yang sebelumnya diingkari.
Terapi Client-Centered menempatkan tanggung jawab utama terhadap arah terapi pada klien. Tujuan-tujuan umumnya ialah menjadi lebih terbuka kepada pengalaman, mempercayai organismenya sendiri, mengembangkan evaluasi internal, kesediaan untuk menjadi suatu proses, dan dengan cara-cara lain bergerak menuju taraf-taraf yang lebih tinggi dari aktualisasi diri. Terapis tidak mengajukan tujuan-tujuan dan nilai-nilai yang spesifik kepada klien, klien sendirilah yang menetapkan tujuan-tujuan dan nilai-nilai hidupnya yang spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
Gerald Corey. 2003. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama
M. Edi Kurnanto. 2007. Bimbingan dan Konseling Sebuah Pengantar Bagi Calon Konselor dan Guru Pembimbing Sekolah. Pontianak: STAIN Pontianak Press
W. S. Winkel & M. M. Sri Hastuti. 2007. Bimbingan dan Konseling di Institut Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi
http://atfahmi.depsos.org/2010/07/13/terapi-berpusat-klienclient-centered-theraphy/
http://translate.google.co.id/dsounseling-client-centered-tereaphy.html
[1] Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, (Bandung: PT Refika Aditama, 2003), hal. 90
[2] W.S. Winkel & M.M. Sri Hastuti, Bimbingan dan Konseling di Institut Pendidikan, (Yogyakarta: Media Abadi, 2007), hal. 397
[3] M. Edi Kurnanto, Bimbingan dan Konseling sebagai Pengantar bagi Calon Konselor dan Guru Pembimbing di Sekolah, (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2007), hal. 114
[4] http://translate.google.co.id/dsounseling-client-centered-tereaphy.html
[5] Gerald Corey, op.cit, hal. 91
[6] Ibid, hal. 93
[7] http://atfahmi.depsos.org/2010/07/13/terapi-berpusat-klienclient-centered-theraphy/
[8] W.S. Winkel & M.M. Sri Hastuti, op.cit, hal. 399-400
[9] Gerald Corey, op.cit, hal. 103
[10] M. Edi Kurnanto, op.cit, hal. 125
[11] Gerald Corey, op.cit, hal. 109-110
[12] Ibid, hal. 110-111
[13] Ibid, hal. 112-113
[14] http://atfahmi.depsos.org/2010/07/13/terqpi-berpusat-klienclient-centered-theraphy/
Roulette (Baccarat) Strategy Guide - Wales - WRione
BalasHapusRoulette has been a popular strategy in the casino for many centuries. It's a strategy that 바카라 can 메리트카지노 be practiced by any gambler 인카지노 or card-hand in